Kontrol Orangtua untuk Screen-Time dan Pemakaian Gadget pada Anak

Runni (5 tahun), sebagaimana anak generasi Z lainnya, adalah digital native. Tanpa perlu diajari, Runni bisa sendiri belajar menggunakan gadget, bahkan sampai ke hal-hal yang orangtuanya pun tidak tahu. Perlu ada pendefinisian prinsip dan strategi untuk parental control anak generasi-z seperti Runni. Prinsip yang saya dan suami akhirnya pahami untuk diterapkan ke Runni antara lain adalah sebagai berikut:

Tidak Ada Gadget Anak

Prinsip utama kami saat mengizinkan anak menggunakan gadget adalah: ini punya Ayah, ini punya Mamah, tidak ada yang namanya gadget milik anak. Runni diizinkan nonton sendiri dengan izin pinjam gadgetnya ke Mamah atau Ayah.

Hal ini kemudian jadi ajang Runni untuk latihan minta izin, paham etika kepemilikan, belajar argumen dan rayuan, serta -yang terbaru- adalah belajar teknik manipulasi keadaan agar keinginannya dipenuhi. Yang terakhir ini cukup bikin saya sakit kepala.

Ada Satu Alasan Konsisten untuk Setiap Larangan dan Batasan

Ruwetnya larangan mungkin bisa jadi salah satu alasan Runni susah dilarang nonton. Larangan dan alasannya terlalu banyak. Dipikir-pikir kalau saya jadi dia, pasti pusing. Ya kalau pusing berarti ada yang didengar, kalau malah dianggap sambil lalu, mamahnya ini hanya dapat lelahnya saja, kan? Sudah mengomel, eh tidak didengar pula.

“Iiih, nanti matanya sakit”
“Itu jelek, gak boleh ditonton"
“Ih itu yang main aja kalah cantik sama Runni, ngapain ditonton”
“Ngapain nonton bayi orang? Itu ada adik sendiri lucu, coba diajak main”
“Jangan nonton itu.. uni masih kekecilan.. gak ngerti” (nonton selebgram anak-anak tapi kadang ada kata-kata ‘mantan’, ‘pacar’ dan lainnya)
“Yang itu jangan, katanya film anak-anak tapi bahasanya kasar”
“Runni, mamah pergi saja ya kalau nonton melulu”
“Mau udahan sendiri dengan cara di-pause atau mamah matiin internetnya?"
“Horeee... alhamdulillah mamah gak usah beliin mainan dan buku lagi, gak pernah dipake juga krn ditinggal nonton”
“Mainannya mamah kasih orang ya kalau gak dimainin..”

Kalau jadi Runni, pasti pusing dan bingung menerima segini banyak jenis larangan.

Sebenarnya perpaduan banyak tahu, posesif, pikiran jauh ke depan, dan anak yang 'lempeng' itu potensial membakar sumbu pendek orangtuanya. Yang ada, omelan panjang tiap hari tak beres-beres. Saya jadi pikir-pikir, coba larangan itu pakai alasan masuk akal dan sederhana. Sudah, itu aja diulang-ulang terus. Sebenarnya dengan kemampuan kognitif anak, suatu saat nanti semua jenis omelan saya make sense bagi Runni dengan sendirinya, tanpa dikasih tahu. Tapi itu nanti.

“Runni, kalau banyak nonton youtube, nanti matanya sakit ya nak. Tidak bisa buat nonton dan belajar lagi."

Sudah, sesederhana itu.

Sukses? Setidaknya cenderung berujung lebih damai daripada biasanya. Lagipula, ini adalah alasan yang belum bisa dilawan balik oleh anaknya. Duh, mengapa ini tak terpikirkan oleh saya dari dulu ya? 

Suatu hari, saya pernah iseng duduk di samping Runni, buka youtube bersama-sama dan Runni melihat saya menghapus beberapa rekomendasi video. Iseng, saya tanya alasannya satu-satu:

"Runni, ini kenapa Mamah hapus?"
"Itu krn jelek, Mah."
"Itu karena ada artis yang Mamah gak suka."
dan seterusnya. Wah ternyata Runni mengerti dan mendengar alasan dan larangan saya. Kaget juga saya.

Waspada Adiksi

Runni dilepas saat menonton, tetapi sebenarnya sambil kami amati. Kalau mulai menunjukkan gejala adiksi, maka saya minta dia mundur dulu, retreat. Salah satu gejalanya adalah mengamuk berat kalau dilarang. Kalau sudah begini, kami harus agak keras. Kalau lewat nasihat tak kena, dilarang tak bisa, maka kami jauhkan dari gadget lain untuk mematikan paksa. Damai? Oh tidak. 

Momen ini juga jadi sentilan untuk kami orangtuanya, yang sukanya leyeh-leyeh di rumah, bahwa sudah saatnya mengajak Runni main ke luar dan ekplorasi lagi. Nonton dan belajarnya istirahat dulu. Apabila aktivitas fisiknya sudah banyak tercukupi, barulah Runni diperbolehkan nonton lagi.

Sebenarnya ada juga cara yang lebih gampang, yaitu matikan internetnya. Tapi si ayah biasanya bingung, kok tiba-tiba tidak bisa kerja. Sebaiknya sepakati berdua untuk upaya retreat menarik anak-anak sejenak dari gadget dan screen time ini.

Technology Helps, not Replace

Perkembangan teknologi itu suatu hal yang pasti. Ini bisa dipahami sesuai makna asal katanya, bahwa teknologi itu membantu pekerjaan manusia. Hal yang seharusnya membantu jangan dihindari, tapi di-maintain. Kenyataannya, hal yang dibuat untuk membantu bahkan sekarang dianggap jadi ancaman. Yes, it has the possibility indeed, selama manusia ‘kalah’ sama teknologi itu sendiri, tak mau belajar memahami cara pakainya. Kalau kita kalah sama teknologi kan lucu.

Sebagai orangtua, penting untuk belajar memahami teknologi, beserta cara pakainya untuk melakukan hal-hal yang produktif. Sekali lagi, teknologi itu membantu, bukan menggantikan. Sekalipun teknologi pembantu proses belajar anak, ujung-ujungnya yang namanya pendidikan anak harus mengikuti grand design dan kontrol orangtuanya. Let’s raise awareness, not fear.

Like Parents, Like Daughter

Children only follow. Selama orangtua tidak selesai dengan diri sendiri, termasuk dalam kontrol diri terhadap gadget, maka anaknya pun demikian. Jadilah saya uring-uringan sendiri kalau suami tidak lepas dari ponsel walaupun isi chatting-nya berbobot dan semi rapat sana-sini. Jadilah saya merasa bersalah dan dunia serasa runtuh setelah selesai menghabiskan tontonan satu season drama. Dan ini terus berulang. Kalau dipikir-pikir, orang dewasa saja susah lepas dari gadget, bagaimana anaknya?

(Kredit gambar: www.freedigitalphotos.net)

Antara saya dan suami, ponsel sudah jadi alat kerja kami yang mana banyak banyak tugas kerja dilakukan secara remote. Ponsel juga dilengkapi dengan berbagai alat distraction seperti game, tontonan, dan media sosial. Jadi pasti tetap ada momen-momen bersenggolan dan kecemplung sama hal beginian. Selesai dari sini mungkin? Mungkin, tetapi jawabannya 'tidak' untuk kondisi keluarga kami saat ini, kecuali suami resign dari dunia e-commerce, dan saya resign dari pengajaran dan disertasi berbau IT. Mengawasi media sosial sudah jadi bagian kerja Ayah. Mengikuti whatsapp sudah jadi bagian dari pekerjaan Mamah yang standby kalau ada masalah perkuliahan, dan riset tentang teknologi pembelajaran.

Butuh waktu lama buat kami denial dan menerima soal ini. Keluarga saya tidak ideal untuk bersih dari gadget. Di sisi lain, menerapkan sterilisasi gadget ke anak sementara orang tuanya tidak, adalah sama sekali tak mungkin. Kami pun sepakat untuk beberapa hal, seperti punya slot waktu khusus menggunakan gadget untuk keperluan pekerjaan yang diusahakan tidak berbarengan dengan waktu yang kami habiskan bersama Runni. Lalu kami juga menentukan waktu dan frekuensi screen time, filter konten, serta ada proteksi di belakang layar. Setiap keluarga berbeda, pilihan cara menjalani hidup pun berbeda.

5 Comments

  1. avatar
    Amalia Rahmah December 18, 2017 9:12 pm

    wah terima kasih mama smua sudah membaca.. iya saya juga belajar banyak dr sesama mama yg memang kerjanya pakai hp dimanapun kapanpun, walaupun pr nya jadi dobel ya.. ngelatih screentime buat emaknya dan anaknya..

    1. avatar

      As .



  2. avatar
    Leila Niwanda October 18, 2017 1:49 pm

    Terima kasih untuk tipsnya, Mba Amalia. Nah, mengingat kerjaan di tempat yang baru ini seringkali bikin harus siaga pegang gadget, belakangan lagi suka cari-cari tips enaknya gimana. Kalau tempo hari nyimak sharing di grup para mama yang punya online shop, katanya biasanya ada semacam jam kerja yang diterapkan. Tapi untuk pekerjaan yang seringkali sifatnya dadakan, nggak bisa juga kan, ya. Bukan berarti juga jadi permisif, sih. Masih terus belajar, dan senang baca tulisan Mba yang kasih pandangan dari sisi lain :).

    1. avatar

      As .



  3. avatar
    dieta hadi October 4, 2017 10:08 am

    tfs banget ya Amalia. Setuju banget bahwa zaman sekarang kita tidak lepas dari yang namanaya gadget tetapi sesungguhnya bisa diatur penggunaannya. Kebetulan memang kami juga menerapkan aturan di keluarga kami. Anak-anak tidak bisa bebas bermain hp kami tetapi mereka memiliki tab untuk mereka bermain atau menonton, tentu saja dengan jangka waktu dan aturan yang ditetapkan. Dan kami sebagai orangtua juga harus bijak menggunakan gadget kami.

    1. avatar

      As .



  4. avatar
    Cindy Vania October 3, 2017 9:21 am

    Terima kasih banyak sharenya ya mama Amalia.

    Betul juga yaa, kalau kita orang tua banyak larangan dan anak lempeng, jadinya malah sebal sendiri.

    Dulu aku udah tenang, anak-anak bisa lupa sama gadget, tapi semakin besar, mereka lihat mama pegang gadget terus. Jadi dipikir ya main gak papa.
    Padahal, mamanya kerja memang selalu pakai gadget dan kebanyakan di rumah. -_-


    Makanya sekarang aku benar-benar ngasih jadwal jelas tentang gadget ke anak-anak dan ke diri sendiri. Beberapa waktu lalu, aku pernah "puasa" pegang smartphone juga.
    Jadi kerja dikebut pas anak sekolah dan istirahat, setelah itu ya aku main sama mereka :D

    1. avatar

      As .



  5. avatar
    Imelda Sutarno September 29, 2017 1:47 pm

    mama Amalia TFS ya. Saya setuju banget sama paragraf terakhir karena keluarga saya juga belum bisa lepas dari gadget. Gimana bisa lepas kalo semua aktivitas sekolah anak2 saya diumumkan lewat WA Grup kelas mereka masing-masing? Kalo saya lepas gadget alamat luput semua reminder tentang ulangan ujian field trip dll nya anak-anak. Itu cuma satu contoh kecil saja :)

    1. avatar

      As .